Rabu, 21 Juli 2010

dualisme tahun ajaran baru

Tahun ajaran baru laksana ritual hari besar nasional, masa yang disambut dengan penuh sukacita dan gembira oleh kaum pendidikan. Banyak spanduk di pinggir jalan melintang mempromosikan nama sebuah sekolah. Pamflet-pamflet dan brosur-brosur disebar yang berisi tentang penerimaan siswa baru.
Siapa sih yang tidak merasa senang? Seseorang yang akan menjalani pergaulan di tempat yang baru, dengan teman-teman baru pula. Yang tadinya belum sekolah kini akan masuk TK, yang baru lulus SD pilih-pilih SMP, yang tadinya lulus SMP kini akan memakai abu-abu putih, yang lulus SMA siap untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Pokoknya semua sibuk mengurusi pendaftaran, mulai dari kepala sekolah, guru, dosen, siswa sampai-sampai sopir angkot, tukang fotokopi, tukang cetak foto, pedagang bahan dan tukang jahit pun kebanjiran order.

Sementara itu bagi golongan di bawah menengah banyak yang terbentur cita-citanya, faktor biaya masih menjadi kendala utamanya. Dalam hati mereka sebenarnya ingin tapi tak mampu. Mereka harus menghadapi keadaan dimana memerlukan proses adaptasi yang cukup lama. Keadaan yang tidak seperti biasanya yakni belajar di sekolah namun kali ini mereka akan menjalani liburan terpanjang di rumah yang belum jelas kegiatan apa yang akan mereka lakukan.

Luapan kebahagiaan tentunya akan menyelimuti satu keluarga manakala seorang calon siswa dinyatakan diterima di sekolah yang mereka minati. Bagi orang-orang kalangan menengah ke atas tentunya sudah siap dengan masalah registrasi. Namun bagi kaum elit (ekonomi sulit) hal ini akan menjadi kerikil sandungan. Nah di sini peran orang tua akan diperas, mereka kerja keras  mengusahakan biaya dalam waktu yang relatif singkat agar anak-anaknya dapat membayar daftar ulang, tak jarang pula dari mereka sampai mencari pinjaman kesana kemari, perhiasannya digadaikan dulu atau barang-barang rumah tangga yang dijual.

Saat itu ada seorang ibu (SR) yang berkunjung ke rumah ibuku. Biasalah main namanya juga ibu-ibu aktivis PKK. SR bercerita bahwa setahun yang lalu anaknya (TT) mau masuk sekolah SMA Negeri sedangkan kakak TT yaitu AY kelas 3 SMEA yang sebentar lagi akan menghadapi ujian. Pekerjaan SR adalah pembantu di rumah tetangga sedang suaminya adalah seorang penambang batu dan pasir di sungai. Begitu keras usahanya hingga dibantu pinjam saudara dan tetangganya> Subhanallah mungkin karena berkat doa dan usaha kerasnya, saat itu juga secara kebetulan dia mendapat arisan yang jumlahnya bisa untuk biaya registrasi TT anaknya itu.

Ada lagi cerita kali ini adalah seorang nenek yang merawat kedua cucunya yaitu FJ dan RY. Ibu kedua anak ini menjadi TKW di negri Jiran. Tahun 2010 ini FJ baru lulus Tsanawiyah sedangkan RY baru naik ke kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah. FJ mengurungkan niatnya untuk mendaftar di STM karena tak ada biaya. Suatu ketika itu FJ memergoki adiknya (RY) sedang menggunting buku-buku tulis miliknya. Ia sobek yang sudah ada tulisannya sehingga yang kosong bisa dipakai lagi. Melihat itu semua FJ menangis dan berkeluh "Ya Allah mak e aku iki ningdi sakjane, kok ora kelingan karo anake mbarang". Saat menceritakan ini semua di rumah saya sang nenek sambil meneteskan air matanya.

Tahun ajaran baru penuh dengan suka cita. Bersyukurlah teman-teman yang masih bisa melanjutkan pendidikan karena masih banyak saudara/tetangga kita yang tidak mampu menikmatinya. Sungguh berdosa besar bila kita menyia-nyiakan amanah dari orang tua, tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Karena merekalah yang telah bersusah payah mencari biaya. Hingga kadang-kadang mereka menunda atau bahkan lupa sholat karena terlalu sibuk bekerja demi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar