Senin, 07 Juni 2010

pilkades pilkada pil-pilan

Akhir-akhir ini di beberapa daerah sedang marak acara pilkada entah itu pemilihan gubernur, walikota atau bupati. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang nomor satu. Banyak dari mereka yang mencalonkan sendiri dan diusung partai. Janji-janji diumbar, visi dan misi diproklamirkan untuk menarik simpati. Tidak dipungkiri lagi para caleg menghabiskan banyak dana mulai dari kampanye sampai pelaksanaan pemilu agar dipilih oleh rakyat. Terlebih lagi ada yang namanya serangan fajar . Jujur, sebagai rakyat biasa tentu merasa senang apabila mendapat jatah serangan tersebut. Namun apabila dipikir-pikir lagi apakah mereka (caleg) kalau sudah dinobatkan menjadi pemimpin nantinya tidak akan balas dendam? Berusaha mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya? Semoga saja tidak demikian.

Sedikit berbeda dengan persoalan diatas, di kampung saya malah sedang akan diadakan pilkadus (pemilihan kepala dusun). Kalau pilkadus ini bukan dipilih rakyat tetapi melalui tes seleksi yang diadakan oleh panitia independent dari desa. Dari informasi yang saya terima sudah ada dua calon yang mendaftar. Nah disini menariknya, mereka dilobi-lobi oleh perangkat agar salah satu calon disarankan mundur sedangkan yang akan melaju dimohon sumbangan sekian rupiah (50mega). Wah berarti pilkadus ini sebenarnya merupakan hak prerogatif pimpinan desa dong. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, emang kadus bengkoknya (pendapatan) berapa sih? kok harus menyumbang sebegitunya... lumayan banyak lah kalau menurut saya. Mau jadi pemimpin saja kok harus bayar, kalau kemampuan kerja nyatanya (bukan kkn) oke sih no problem. Ini baru di tingkat dusun lho, saya tidak dapat membayangkan untuk tingkat-tingkat di atasnya.

Apakah memang sudah adatnya demikian? Atau sudah konvensi? Mungkin inilah realita yang terjadi di sekitar kita, yang mau tidak mau bahkan terkadang kita sendiri ikut terseret di dalamnya. Ironis memang, keadaan yang jauh dari nilai-nilai yang kita dapatkan di bangku sekolah. Ketika kita terjun di masyarakat, idealisme itu luntur terkikis oleh sifat kekeluargaan & kegotong-royongan. Kini semua kembali kepada diri pribadi masing-masing dalam menyikapinya. Takkan ada perubahan selama kita bungkam dan masih mengikuti hal yang demikian itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar